Buon Appetito!: Italian culture about meals

Saya tumbuh dengan gaya hidup mengkonsumsi makanan tidak kurang dari 3 kali sehari, kecuali saat berpuasa. Sewaktu di rumah dulu, normalnya anak sekolahan, sarapan dan makan malam di rumah udah disiapin orang tua dan makan siang di sekolah, jajan ataupun bawa bekal. Ibu saya sering wanti-wanti "kalo soal perut, nggak usah pelit ngeluarin uang", maka jadilah saya doyan makan dan jajan. Sewaktu kuliah di Jogja, saya suka heran ngeliat teman-teman yang sering skip jam makan, terutama sarapan. Alasannya sangat tidak masuk akal: takut telat kuliah. Karena saya punya prinsip, biar telat kuliah yang penting makan dulu :)) Kidding. Saya selalu antisipasi punya stok roti dan biskuit kalo sedang buru-buru.

Hidup di Italia, mau tidak mau harus menyukai salah satu kultur daerah ini, makan. Terlepas dari jenis hidangan mereka (primo, secondo, contorno, or whatever it is), saya menyukai beberapa hal dari kultur mereka soal makanan.

1. Makan 3 kali sehari
Normalnya orang Italia makan 3 kali sehari: sarapan, makan siang, makan malam. Dari beberapa teman Italia yang saya perhatikan, walaupun nggak semuanya rajin bangun pagi, tapi semuanya pasti sarapan pagi. Walaupun ngejar kereta yang tinggal satu menit lagi, teman saya masih di ruang makan ngabisin rotinya. Kalau sarapan, biasanya mereka makan makanan yang ringan, seperti sereal, roti, yogurt, kopi, dsb. Yang jelas bukan nasi atau pasta. Untuk makan siang dan makan malam barulah yang lebih berat. Kalau yang saya lihat, teman-teman dorm saya biasanya bikin pasta atau risotto (nasi). Atau untuk makan malam cuma insalata (salad). Kalau di mensa (kantin) univ, mereka punya menu lengkap (primo, secondo, contorno) yang kadang saya coba beli biar sok-sokan kayak bule tapi bikin perut benar-benar tak terkondisi alias penuh. 

2. Makan di meja makan
Bahkan kalau di rumah, meja makan fungsinya cuma untuk naruh laptop, printer, kertas-kertas nasi, sayur, dan lauk, dan kemudian makannya lesehan di lantai sambil nonton TV. Kalau nggak ada acara khusus, kayanya di rumah saya ngga pernah nerapin proper dinner di meja makan bareng keluarga. Di sini, teman-teman Italia saya makannya selalu di meja makan. Berasa rasis, tapi yang non-Italian mostly don't really care about it and prefer having their meal in their room. Tapi saya tetap milih makan di meja makan karena beberapa alasan. Pertama, biar cepat nggak terganggu aktivitas lain (nonton film di laptop misalnya). Kedua, biar habis makan langsung nyuci piring (pas di Jogja piring bekas makan siang langsung dipake buat makan malam wakaka). Ketiga, biar ketemu orang lain dan berinteraksi alias ngobrol. Soal makan di meja makan, saya jadi selalu makan cantik alias pake tovaglia (alas meja), nyiapin serbet dan minum sebelum mulai makan. Ternyata seru juga makan seperti ini. Saya jadi paham kenapa ibu kos saya di Jogja selalu makan cantik di rumah (beliau tinggal lama di Aussie dan US).

3. Masak sendiri
Hidup ngekos di sini memang nggak semudah tinggal ngesot ke burjo atau warung prasmanan kalau lapar. Masak sendiri, mau enak atau enggak, adalah wajib hukumnya kalau mau bertahan hidup sejahtera. Di Italia nggak ada warung prasmanan, adanya pizzeria, kebabria, dan resto-resto yang, ehem, too fancy for daily meal. Kalau bersedia ngeluarin minimal 3.5 euro untuk seporsi panini kebab atau makanan lainnya mungkin Anda bisa bertahan tanpa memasak. Tapi kalau dihitung-hitung uang segitu udah bisa beli setengah kilo pasta (70 cent) plus saos tomat (1 euro) untuk makan sekitar 3-4 kali, dan masih bisa nabung. Ya, memang itulah perbandingan iritnya kalau masak sendiri ala anak Jogja yang ternyata kalo dikonversi ke rupiah masih lebih murah dari makan di Jogja :)) kidding. Itu menu andalan kalau saya lagi nabung buat traveling. Normalnya, makanan saya lebih berkualitas dari sekedar saos tomat. Btw, one interestting fact about Italian, the guys are often better and more concerned at cooking than the girls. Ha! Consider this para lelaki Indonesia yang suka komentar (dan nuntut) cewek seharusnya bisa masak.

4. Chat time
Yang bikin saya sampai sekarang nggak ngerasain yang namanya culture shock di Italia adalah karena lingkungannya seramah di Indonesia. Orang-orangnya suka nyapa dan ngobrol, kayak di Indonesia. Sehabis makan, biasanya orang Italia duduk dulu sejenak sambil ngobrol seru. Kalau di istilah kita, "nunggu makanannya turun". Sehabis makan malam, saya kadang suka ikut nimbrung obrolan mereka. Walaupun nggak ngerti :v Sepertinya itu kebiasaan yang udah membudaya di lingkungan keluarga karena, seperti yang saya bilang di post sebelumnya, orang Italia sangat familiy-oriented dan sangat suka menghabiskan waktu lama dengan keluarga.

5. Caffè
I like the fact that coffee can not only boost your energy in the morning, but also produce idea and good conversation. Memang ini adalah minuman wajib saat sarapan atau pelengkap ngobrol sehabis makan. Entah kenapa, saya suka ngeliat budaya nawarin kopi ke teman ngobrol, baik bikin sendiri atau beli di vending machine. Rasanya ngobrol sambil ngopi memang menambah keakraban dengan lawan bicara. Entah ini teori dari mana, pokoknya gitu, percaya aja.

However, hal yang saya nggak terlalu suka dari kultur makan di sini adalah lama. Tiap makan malam, yang saya perhatikan, mereka menghabiskan waktu sekitar 2 jam mulai dari masak sampe selesai ngobrol (ngobrolnya sejam sendiri). Bayangkan itu dilakukan setiap hari. Dan lagi, kalau di Indonesia jam makan siang cuma satu jam dari jam 12-13, sedangkan di sini 2 jam dari 12-14, dengan catatan 13-14 the real jam istirahat. Orang-orang Eropa utara nyebut orang Italia (dan Spanyol) pemalas karena menurut mereka orang-orang di sini banyak berleha-leha alias nggak produktif. Mungkin ini juga yang jadi alasan kenapa orang Italia nggak terlalu tepat waktu kayak orang-orang Eropa (lebih utara) pada umumnya.

Makan saya selama di sini, alhamdulillah, sangat teratur dan lebih bernutrisi dibandingkan sewaktu di Jogja. Saya jadi terpaksa doyan masak, mulai dari pasta, sekedar tumis-tumis, atau kalo lebih niat bikin kare atau sup. Ibaratnya the sims, karena sering masak, kualitas masakan saya udah meningkat dari poor quality jadi normal quality, walaupun pengetahuan resepnya belum banyak. Kalau kangen masakan rumah, kalau memungkinkan untuk dibuat (bahan mudah dicari), kadang saya coba iseng bikin. Teman saya kaget waktu saya bikin pisang goreng, dan dengan santai saya cuma jawab "we fry everything in our country", which is true, right? :))

Ah, I could write longer than this when it comes to 'food' but I know it'll make you (and me) hungry. Italy really makes me love eating even more. I wish I could gain some weight during my stay here :))

Allora, ciao e buon appetito!

Comments

  1. jadi inget kamu pernah bawa bekel masakan sendiri terus dimakan di kantin
    A: itu apa me? M: ini tumis jamur wortel..
    A: loh kok gak kaya jamur wortel ._. M: biarin yang penting sarapan
    A: wah keren pagi2 masak M: ini masakan semalem dipanasin xD
    duh kangen meme :"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apakah itu benar terjadi? Aku udah lupa na ahahaha iyaaa ku juga kangen, udah mulai homesick :(

      Delete
  2. Meee, tau kamu terpak-- doyan masak, kmrn tak beliinnya buku resep aja bukan buku quote :v

    ReplyDelete
    Replies
    1. rapopo far, ntar aku aja yg oleh2nya buku resep khas itali :3 pake bahasa itali :v

      Delete

Post a Comment

Popular Posts