Study in Germany: how I study

My picture on Saarland Informatics library leaflet


Postingan ini isinya tentang bagaimana sistem perkuliahan di Jerman dan bagaimana saya survive selama setahun!

Kuliah itu nggak gampang. Apalagi kuliah Master. Apalagi di Eropa.

Planning

Pengalaman exchange di Italia membuat saya merasa lebih siap di awal perkuliahan saya. Dari awal saya udah nyari tau mata kuliah apa saja yang ditawarkan di jurusan saya. Karena saya sadar saya akan kuliah di dua universitas yang berbeda dan harus memenuhi persyaratan lulus di dua universitas tersebut. Otomatis saya harus sigap mencari tau bagaimana persyaratan tersebut sebelum membuat rencana studi saya. 

Enaknya, semua silabus mata kuliah dapat diakses online. Walaupun mata kuliah yang ditawarkan bisa saja berubah nantinya karena yang diakses saat ini sesuai tahun ajaran sebelumnya, setidaknya saya bisa dapat gambaran dasar apa saja yang ingin saya pelajari selama studi saya. Menurut saya rencana studi ini penting, supaya kita tau arah dari awal, nggak cuma iseng-iseng masuk kelas tanpa minat dan niat belajar di awal.

Saat bikin rencana studi, saya tentu saja minta bantuan dari academic advisor saya. Beliau sangat terbuka dan nggak membatasi apa saja yang sebaiknya atau tidak sebaiknya saya ambil. Beliau juga mengingatkan beban kuliah di Jerman itu berat.
Ah ya, beban kuliah!
 
SIstem kredit di Eropa menggunakan ECTS, yang 1 kreditnya setara 25-30 jam per semester. 1 mata kuliah biasanya 6 ECTS. Kalau bisa kita memenuhi 30 ECTS per semesternya karena syarat lulus master adalah harus memenuhi 120 ECTS termasuk tesis. Jadi coba hitung sendiri berapa jam per minggunya kamu  habiskan untuk kegiatan perkuliahan, termasuk menghadiri kuliah, tugas, dan belajar mandiri.

Nah, soal belajar mandiri ini, advisor saya juga udah memperingatkan kalau di Jerman tuntutan belajar mandiri itu cukup tinggi. Misalnya, di kuliah dipresentasikan macam-macam teori dan contoh aplikasinya secara dasar. Namanya udah kuliah master ya, nggak mungkin kita dituntut cuma bisa nyebutin apa yang ada di slide, alias menghapal. Kita pasti juga dituntut untuk menjawab pertanyaan "bagaimana" atau "kenapa" yang butuh penjelasan dan penalaran. Supaya lebih paham dengan materi yang diajarkan, kita harus baca literatur di luar jam kuliah, entah itu buku atau paper. Kalau hal yang berbau praktik, tentu kita harus nyoba-nyoba eksperimen sendiri dari apa yang telah dipelajari.

Berdasarkan pengalaman, "sistem kebut semalam" nggak akan mungkin berhasil. Jadi, penting untuk membagi waktu untuk belajar sepanjang semester. Lagi pula tujuan ke Jerman ya memang buat belajar. Rugi rasanya kalau menghabiskan waktu setiap harinya cuma buat makan, tidur, dan scrolling instagram.

Kegiatan perkuliahan

Di sini ada dua jenis kegiatan perkuliahan: a) kuliah, b) seminar. Kita bahas satu per satu ya.

Kalau kuliah, sama seperti kuliah di mana saja sih, dosen menyampaikan materi dan kita menghadiri kuliah dan mengikuti rencana kuliah sang dosen (tugas, proyek, kuis, dsb). Di akhir semester akan ada ujian yang wajib diikuti untuk mendapat kredit dari mata kuliah itu. Kita bahas di bagian selanjutnya ya.

Pengalaman kuliah saya biasa-biasa saja sih. Saya datang kuliah, dengarin dosen, mencatat hal yang perlu, ngerjain tugas. Setelah satu tahun kuliah, saya merasa kekurangan sistem di silabus jurusan saya ialah kurangnya praktik. Saya membandingkannya dengan bagaimana yang saya alami di Italia. Sewaktu di Italia, setiap mata kuliah selalu mempunyai dua sesi, teori dan praktik. Dan kebanyakan mata kuliah bersifat project-oriented yang menuntut mahasiswanya mengerjakan proyek selama mengikuti mata kuliah sebagai pengganti ujian. Yang saya rasakan di Jerman, praktiknya hanya sekedar pengenalan tools atau bahkan mahasiswa dianggap sudah menguasai praktik jadi ya langsung dikasih tugas seabrek yang bahkan tidak banyak berkontribusi untuk nilai akhir (maaf, jadi curhat haha). Walaupun begitu, tetap ada mata kuliah yang teori dan praktiknya seimbang.

Setelah bertahun-tahun kuliah (ceile..) saya jadi bisa memetik sebuah pelajaran: mengorganisasi silabus itu penting banget bagi seorang dosen. Mulai dari memilih topik apa saja yang perlu disampaikan, cara menyampaikan materi, membuat tugas untuk mahasiswa, sampai menyiapkan metode evaluasi. Membuat tugas juga bukan sekedarnya, harus diselaraskan apa yang telah diajarkan, ekspektasi pengalaman yang didapatkan mahasiswa, dan beban dari tugas tersebut (estimasi waktu untuk menyelesaikannya). Terasa banget kalau silabus mata kuliahnya tersusun rapi dan jelas sejak awal, lebih mudah mengikuti kuliahnya (bukan memahami materinya, ini tergantung kegigihan anda :v) dan mempengaruhi ketertarikan pada mata kuliahnya.

Kalau seminar, tujuannya adalah untuk membahas sebuah topik yang lebih kecil dan fokus lingkupnya. Kita diminta untuk mempresentasikan sebuah paper dari daftar yang dirilis sang dosen. Topiknya biasanya cukup up-to-date dengan perkembangan riset di area yang dibahas. Selain presentasi, kita juga diminta aktif berdiskusi. Kemudian kita diminta menulis term paper, karya ilmiah berkaitan dengan paper yang dipresentasikan.

Saya suka seminar karena kita dituntut aktif untuk berdiskusi dan banyak ilmu baru yang diperoleh karena paper yang dibahas juga bukan yang sudah kuno. Awalnya juga saya bingung bagaimana menyiapkan presentasi yang baik, apa saja yang perlu dan tidak perlu disampaikan supaya durasi yang diberikan cukup, sedetail apa kita diminta untuk menyampaikannya. Dari sini saya belajar, ketika membuat presentasi yang paling utama adalah memperhatikan audiens. Lihat siapa audiens kita dan bagaimana background mereka tentang topik yang akan kita bahas. Pada umumnya audiens sangat beragam dan mereka punya pengetahuan yang berbeda. Jadi pengenalan terhadap topik yang kita bahas itu cukup penting dan tidak perlu menjelaskan isi paper secara detail. Bayangkan saja, kita mungkin sudah baca paper-nya puluhan kali sampai bisa menguasai isinya secara rinci. Tentu tidak mudah mentransfer 100% pengetahuan tersebut ke audiens hanya melui presentasi 40 menit. Cukup menyampaikan kontribusi si penulis secara high-level. Sebagai contoh bisa lihat video presentasi para researchers di konferensi-konferensi internasional.

Selain dari latihan presentasi, saya juga jadi belajar menulis ilmiah sampe rela-relain baca buku "how to write a scientific paper". Saya sadar dari pengalaman nulis skripsi kalo nulis tulisan ilmiah itu nggak gampang, nggak bisa langsung nulis semalaman selesai jadi mahakarya prestisius. Sehabis baca buku tersebut saya jadi merasa lebih terarah sewaktu mulai menulis. Yah pengalaman ini hitung-hitung buat warming up nulis tesis atau paper yang berkualitas di kemudian hari. (Amin)

Ujian

Saya rasa ini bagian yang paling tidak menyenangkan di kehidupan perkuliahan haha. Officially, di sini periode ujiannya cuma ada ujian akhir semester. Technically, tergantung dosennya juga, kadang ada yang juga ngadain ujian tengah semester. Atau bahkan nggak ada ujian sama sekali karena diganti sama proyek akhir.

Di sini presensi masuk kuliah bukan jadi prasyarat untuk ikut ujian. Jadi kita bisa daftar ujian mata kuliah apa saja yang kita mau, walaupun kita nggak pernah hadir di kelas. Tapi biasanya sang dosen punya prasyarat lain misalnya harus mengerjakan tugas yang diberi setiap minggu. Jadi nggak mungkin juga bisa ikut ujian kalau nggak pernah ngerjain tugas.

Untuk dapat kredit, kita harus lulus ujian itu. Jadi walaupun kita sudah rajin masuk kuliah, ngerjain tugas, ikut ujian, tapi nilai akhir nggak mencukupi, kita nggak bisa dapat kredit untuk mata kuliah itu. Sistem penilaian di Jerman berbeda dengan di Indonesia. Kalau di Indonesia nilai terbaik itu 4.0 (setara A), di Jerman nilai 4.0 justru batas lulus (passing grade) dan nilai terbaik adalah 1.0. Skemanya kira-kira seperti berikut:


Sayangnya dapat 1.0 itu susahnya subhanallah. Dari pengalaman saya, saya rasa ujian di sini soalnya banyak untuk waktu yang singkat. Ibaratnya nggak ada waktu untuk mikir, cuma ada waktu untuk nulis. Mungkin saya memang tipe yang agak lemah di ujian. Saya sering banget terlalu detail menjawab di suatu soal dan malah nggak sempat menjawab soal yang lain. Jadi ya gitu, hasilnya suka pas-pasan saja :')

Kalo nggak lulus harus ngulang mata kuliahnya kah? Jawabannya, enggak. Karena kredit yang didapatkan ditentukan dari kelulusan kita di ujian, kita nggak perlu mengulang mata kuliahnya, hanya ujiannya saja. Di setiap semester, ada 2 periode ujian, ujian utama dan ujian ulang. Kita harus pernah ikut ujian yang utama untuk ikut periode ujian ulang. Jadi kita nggak bisa secara langsung memilih waktu ujian di periode ujian ulang hanya karena supaya mengundur waktu ujian (this works in Italian academic system tho). Untuk suatu mata kuliah, kita boleh ikut ujian maksimal sebanyak tiga kali. Nilai akhir untuk mata kuliah tersebut adalah nilai terbaik dari sekian kali ujian yang pernah kita ikuti. Ibaratnya sama seperti sistem remedial di Indonesia, tapi ikut ujian ulang belum tentu memperbaiki nilai karena tingkat kesulitannya sama dengan ujian utama.

Everything is not always going well

Nah sekarang mari bahas suka duka kuliah di Jerman :D
Kalau ada orang yang mikir kuliah di sini itu enak banget karena hidup bebas, gampang jalan-jalan ke tempat kece, terus pulang-pulang dapat gelar deh. Mereka salah besar.

Dengan kesulitan yang sudah saya paparkan di atas, kita hampir nggak punya waktu selain untuk belajar. Perpustakaan sudah jadi rumah kedua saya. Saya bisa stay sampai 8-10 jam di sana. Kalau di musim dingin, keluar rumah masih gelap, pulang sudah gelap lagi.

Beda dengan di Indonesia, mahasiswa di Eropa lebih individualis. Kalian ngambil mata kuliah yang sama, bukan berarti kalian 'teman' dan akan hangout bareng. Saya beruntung departemen saya terbilang kecil dan saya kenal semua mahasiswa seangkatan saya (cuma sekitar 20 orang) dan hampir semua mahasiswa setingkat di atas saya. Karenanya saya masih punya teman untuk diskusi tentang pelajaran (dan nongkrong di luar kelas). Sewaktu kuliah di Italia dulu rasanya sulit sekali jika ingin berdiskusi dengan teman sekelas karena kelas yang cukup besar dan mahasiswa tidak kenal satu sama lain. Tapi di sisi lain, para dosen di sini sangat terbuka bila mahasiswa ada pernyataan. Mereka cepat menanggapi via email dan biasanya punya waktu khusus di mana mahasiswa bisa datang untuk konsultasi (office hours). Tentu saja saya juga memanfaatkan fasilitas ini.

Kadang-kadang rasanya udah belajar keras, tapi masih merasa nggak bisa di suatu mata kuliah. Rasanya udah ngatur waktu sebaik mungkin, tapi masih keteteran. Nggak jarang saya merasa depresi dan kehilangan kepercayaan diri. Di saat-saat sulit seperti itu, yang bisa saya lakukan cuma berdoa dan berupaya untuk berpikir positif. Mencoba mengingat kembali tujuan datang ke sini, jauh dari rumah dan keluarga. Saya selipkan juga di jadwal saya aktivitas di luar akademik, seperti olahraga, masak, jalan-jalan. Jadi kalau saya post di instagram hanya foto jalan-jalan, masakan, atau lagi nongkrong, bukan karena cuma itu yang saya lakukan di sini, tapi cuma pada saat itu saya sempat nge-post sesuatu. Ngapain saya upload foto saya lagi belajar, kan saya lagi belajar (think logically!).

Terkadang ada saja magic yang muncul di saat saya sedang down. Pernah saya lagi mikir betapa performa saya tidak sebanding dengan teman-teman lain dalam memahami dan mengerjakan suatu mata kuliah. Masih dipenuhi aura negatif, saya jalan ke mushalla mau shalat Dzuhur. Di depan mushalla saya berpapasan dengan muslimah lain yang saya sering ketemu di mushalla (tapi saya nggak pernah tau namanya haha). Seperti biasa, kami saling mengucapkan salam, cipika-cipiki, dan menanyakan kabar. Sewaktu dia nanyain kabar saya dan saya jawab dengan hamdalah, rasanya hati saya langsung mencair. Pertama, karena ada yang menanyakan kabar saya. Kedua, karena saya jadi sadar syukur itu obat hati.

Pernah lagi, saya merasa tidak mampu di semua mata kuliah yang saya ambil dan ada satu mata kuliah yang saya sangat berusaha keras tapi masih tidak yakin dengan usaha saya. Di saat kondisi terpuruk seperti itu, saya menerima email dari sang dosen yang isinya evaluasi dari tugas kedua dan solusi saya untuk tugas tersebut mendapat nilai sempurna dan terbaik di kelas. Alhamdulillah. Dari sini saya belajar, kata-kata yang baik dan memberikan apresiasi kepada orang lain itu dampaknya bisa sangat luar biasa untuk orang tersebut.

Dan masih banyak lagi waktu di saat saya pusing, sakit kepala, stres dan sebagainya, memikirkan masa depan saya. Tapi itu normal sih. Namanya juga hidup. Kamu juga pernah kan?

***

Jadi,
kuliah itu nggak gampang, apalagi kuliah Master, apalagi di Eropa. Udah kuliahnya susah, jauh dari rumah, lingkungan pertemanan berbeda.

Tapi,
susah bukan berarti nggak mungkin. Bukan sok memotivasi, tapi itu kenyataannya. Lihat aja berapa banyak orang yang sudah survive. And I wanna be one of them too.

Saya masih harus menjalani setahun kuliah lagi di Praha, Republik Ceko. Mohon doa dari teman-teman :D

Dan semoga tulisan ini bermanfaat.

Comments

Popular Posts