Muslimah in Europe: how to keep praying 5 times daily


Tempat shalat di kampus Povo, University of Trento, Italia.

Ini tahun ke-3 saya di Eropa, juga negara ke-3 yang saya tinggali. Saya belum pernah nulis postingan khusus tentang bagaimana kehidupan saya sebagai muslimah. Padahal sudah banyak teman-teman yang bertanya dan minta pengalamannya ditulis hehe

Sebagai muslimah berkerudung, hidup sendiri di Eropa menjadi tantangan sendiri bagi saya. Bagaimana saya tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim, bagaimana saya dapat berbaur dengan teman-teman dengan gaya hidup berbeda, bagaimana makanan saya, bagaimana reaksi orang melihat saya berkerudung. Pertanyaan teman-teman tersebut juga saya tanyakan pada diri saya sendiri, sejak awal menapakkan kaki di Eropa. Takut, gugup, bisa nggak ya tetap memegang prinsip?

Yuk, saya coba jawab satu per satu.  

Btw, postingan ini tujuannya untuk menceritakan pengalaman saya menjalani aktivitas yang biasanya mudah dilakukan di Indonesia, tetapi sedikit lebih sulit dilakukan di sini karena perbedaan lingkungan dan budaya. Kiranya ada yang tidak sesuai dengan pembaca, tidak perlu ditiru. Kiranya ada yang salah mohon untuk dibenarkan.

Shalat

Ada yang aneh ketika nggak mendengar adzan berminggu-minggu lamanya. Rindu. Suara yang biasanya hanya diabaikan  karena terlalu seringnya didengar telinga, 5 kali sehari, sekarang dijadikan alarm untuk bangun pagi. 

Di mana pun saya berada, insya Allah, saya berusaha untuk menjaga shalat 5 waktu. 

Kesulitan pertama ialah mengetahui waktu shalat. Kalau di Indonesia, sepanjang tahun waktu shalatnya hampir tidak berubah, paling hanya lebih cepat/lambat 30 menit. Di Eropa, karena memiliki 4 musim, waktu shalatnya berubah terus, hampir setiap hari waktu masuk shalat berubah menitnya. Sewaktu summer harus nunggu tengah malam untuk shalat isya dan bangun dini hari untuk shalat subuh. Sewaktu winter, diusahain jaga wudhu dari zuhur sampai maghrib dan siap sedia keluar kelas untuk shalat di tengah kuliah kalau durasi kuliahnya cukup lama.

Karena nggak ada adzan, jadi saya pakai aplikasi di mobile phone. Saya pakai aplikasi "Athan". Ada juga teman-teman yang pakai "Muslim Pro". Jam shalat di dua aplikasi tersebut terkadang berbeda beberapa menit. Tapi nggak banyak yang sadar, kecuali sewaktu Ramadhan di mana semua orang jadi melek jam dan menit adzan Subuh dan Maghrib :p Untuk lebih yakin, perhatikan posisi matahari. Sewaktu SD juga sudah diajari kan?

Kesulitan kedua ialah mencari tempat shalat. Setiap mengalami ini, saya bersyukur banget tinggal di Indonesia yang di setiap 100m ada mesjid atau mushala. Di sini kalau mau keluar rumah selalu mikir dulu, nanti shalatnya di mana?

Di kampus saya di Jerman, alhamdulillah, ada mesjid kampus, yang setiap Jumat diadakan shalat Jumat juga. Lalu di salah satu gedung informatikanya, dekat sekali dari perpustakaan informatika di mana saya biasanya nongkrong sampai tutup, juga ada ruangan beribadah. Ruangan beribadah ini juga digunakan oleh penganut agama lain untuk melakukan ibadahnya. Tapi sebagian besar penggunanya tetap orang muslim untuk shalat. Di kampus saya di Italia dulu, alhamdulillah, mahasiswa muslim di departemen saya mengusahakan agar diperbolehkan menggunakan sepetak kecil (sekitar 3x2m) area di lantai paling atas tangga darurat sebagai tempat shalat. Ada sajadah dan Al-Quran juga. Karena kecil dan biasanya yang shalat laki-laki, saya sering ngantri kalau mau shalat. Tapi setidaknya ada perasaan tenang karena tau akan shalat di mana. Kata teman saya, sewaktu awal dulu setelah diizinkan menggunakan tempat itu, pihak universitas sempat memasang kamera CCTV untuk memantau aktivitas yang dilakukan di sana. Tapi sewaktu saya shalat di sana, kameranya sudah tidak ada lagi.

Di kampus saya di Praha saat ini, sayangnya nggak ada tempat shalat. Ruangan kelas pun dikunci kalau tidak sedang digunakan untuk kegiatan perkuliahan. Tapi, alhamdulillah, karena pengalaman di Italia, saya sekarang shalat di sepetak kecil di tangga darurat paling atas. Di sana jarang ada yang lewat. Di sebelahnya sebenarnya ada pintu menuju lorong ruangan-ruangan untuk mahasiswa S3. Tetapi biasanya orang-orang ke sana dari pintu lain di dekat tangga utama. Kalaupun ada yang lewat (selama ini belum pernah ada), saya merasa saya tidak mengganggu jalan, jadi saya coba tenangkan hati untuk fokus shalat.

Sebenarnya mencari tempat shalat mungkin tidak sesulit yang dibayangkan. Yang penting selalu bawa sajadah, jadi bisa shalat kalau ketemu tempat yang sesuai. Masalahnya belum tentu kita dengan berani menggelar sajadah di tengah keramaian. Ada perasaan seperti 'apa kata orang', 'bagaimana kalau nanti agama kita yang dicela'. Jadinya shalatnya malah nggak khusyuk.

Saya jarang keluar kecuali ke kampus, saya emang kupu-kupu (kuliah-pulang kuliah-pulang) anaknya, jadi kalau nggak shalat di kampus ya di rumah. Kalau sedang dalam perjalanan jauh, kalau lokasinya sedang dekat dengan sebuah mesjid, lebih baik ke mesjid. Kalau tidak, biasanya saya shalat duduk, walaupun itu di tengah keramaian atau di kereta api. Kalau ada temannya, mungkin lebih terasa nyaman karena bisa shalat bergantian.  Tips yang pernah saya baca, bisa juga shalat di ruang coba suatu butik, saya belum pernah nyoba sih.

Mba, wudhunya di mana? Sebelum keluar rumah saya wudhu dulu. Saya sih berusaha wudhunya dijaga. Kalau tidak memungkinkan ya harus wudhu lagi. Karena nggak ada tempat wudhu, wudhunya di westafel kamar mandi. Sedikit bikin was-was ketika memikirkan bagaimana harus mencuci kaki di westafel. Gimana kalau orang ngeliatin kita sewaktu mengangkat kaki ke westafel? Ternyata Allah sudah kasih kemudahan buat kita, diperbolehkannya mengusap khuf (sesuatu yang dipakai kaki, misalnya kaos kaki atau sepatu) dengan syarat menggunakan khuf saat dalam keadaan suci, belum melepaskannya sampai ketika hendak berwudhu, dan tidak dalam keadaan berhadast besar. Syarat lain dan penjelasan lebih detailnya bisa dibaca di sini. Pengetahuan ini juga saya baru tau saat tinggal di Eropa hehe

Kemudahan mengusap khuf juga bisa diperoleh kalau aurat kita tertutup. Inilah salah satu manfaatnya memakai kerudung hehe. Manfaat lainnya ialah saya tidak bingung dan repot membawa mukena. Mungkin hal ini agak tidak susuai dengan kebiasaan orang Indonesia yang 'harus' pakai mukena sewaktu shalat. Saya percaya pada dasarnya pakaian yang menutup aurat itu adalah yang sudah bisa dipakai shalat. Kalau saya keluar rumah dalam keadaan menutup aurat, insya Allah saya bisa menunaikan shalat dengan pakaian tersebut.  Tentu saja pemikiran ini membuat saya harus memperhatikan kembali apa yang saya pakai: nggak pakai baju lengan 7/8 atau kerudung terlalu pendek, selalu pakai kaos kaki, dsb.

Tinggal di Indonesia itu udah super duper nyaman buat muslim.  Coba dipikir-pikir lagi kalau kita masih suka lalai atau gampang ninggalin shalat. Jadwal kegiatan selalu ada jeda untuk shalat, misal jeda makan siang, jeda maghrib. Jadwal kuliah nggak mungkin bentrok shalat jumat, buat para lelaki. Kalau lagi di jalan tinggal berhenti mampir di suatu mesjid. Mesjidnya sudah pasti ada tempat wudhu, mukena, dan sajadah.

Lagi, di kondisi apa saja, kalau ada niat, insya Allah ada kemudahan untuk melaksanakan ibadah.

(to be continued on the next post: how I keep eating halal food)

Comments

Post a Comment

Popular Posts