Renungan 2019

Keluar dari cangkang: menari tarian Lombok di Praha, Rep. Ceko

Tidak terasa kita sudah kembali lagi ke waktu di mana kita biasanya mengingat ulang kejadian yang terjadi sepanjang tahun. Entah itu hal-hal yang membuat bahagia, sedih, emosi yang bercampur aduk, bentuk pengembangan diri, pelajaran berharga, dll.

Saya merasa tahun 2018 adalah tahun terberat saya. Selama beberapa bulan di tengah tahun saya merasa memiliki masalah anxiety yang cukup menganggu aktivitas saya. Akhir tahun lalu dan awal tahun 2019 ini bisa dibilang merupakan fase pemulihan saya. Selain itu, banyak pembelajaran baru dari rangkaian kejadian yang saya temui di tahun ini. Mungkin tema saya tahun ini ialah tentang melawan anxiety, menjaga hubungan dengan orang lain, dan kekuatan doa.


Keluar dari cangkang


Ketika awal saya datang ke Praha, saya tidak punya orang Indonesia di sana sama sekali. Saya tidak pernah merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial yang baru. Dan saat itu bukanlah tahun pertama saya pindah ke tempat baru di Eropa. Saya merasa tentu saya bisa survive. Tetapi setelah 2 bulan, saya menyerah haha saya harus menemukan komunitas Indonesia.

It was tougher than I expected. Komunitas internasional di program studi saya lebih kecil dibandingkan sewaktu saya di Jerman. Berdasarkan pengalaman, masuk ke lingkungan lokal lebih sulit, kecuali mereka memang membuka kesempatan. Dan mungkin juga karena anxiety yang saya miliki saat itu, saya agak picky mengenai dengan siapa saya ingin berteman. Saya mudah untuk memulai dan menjaga percakapan dengan seseorang, tetapi belum tentu saya bisa percaya orang itu bisa menjadi teman saya. Threshold kepercayaan saya kepada seseorang ialah ketika saya tidak segan untuk meminta pertolongannya.

Kalau dengan orang Indonesia, bukannya saya bisa langsung percaya begitu saja. Tetapi fase untuk sampai ke threshold tersebut bisa lebih cepat. Kesamaan bahasa, budaya, dan yang terpenting adalah kondisi sama-sama sedang merantau mungkin menjadi faktornya. Alhamdulillah, sejak "keluar dari cangkang" saya jadi aktif berinteraksi dengan teman-teman PPI, pengajian di Praha, dan warga Indonesia lainnya. Saya jadi punya kehidupan sosial baru yang sempat beberapa bulan meredup.


Kualitas relasi


Saya sering mendengar orang bilang kalau semakin dewasa mereka merasa lingkungan sosial mereka mengecil dan kualitas lebih penting daripada kuantitas. Saya juga merasakan hal yang sama. Menurut saya pemikiran tersebut bukan berarti kita cuek saja jumlah teman kita menciut, tetapi bagaimana kita seharusnya memberi prioritas dan menjaga hubungan dengan orang yang  kita kenal.

Pertanyaannya adalah bagaimana saya menjaga kualitas hubungan saya dengan orang lain? Pertanyaan ini mungkin menjadi sebuah tantangan untuk saya untuk membiasakan diri genuinely berinteraksi dengan orang lain dan menghargai mereka sepantasnya, bukan hanya datang ketika butuh. Saya banyak memperhatikan bagaimana orang lain melakukannya. Ada yang suka memasak atau membuat kue dan membagikan makanannya di majelis atau mengundang teman-temannya. Ada yang selalu berusaha menyempatkan waktunya untuk memenuhi undangan. Ada yang sesimpel langsung membalas pesan. Yang paling saya sukai adalah orang-orang yang be present and listening to you dan bukan sibuk sendiri, semisal dengan smartphone-nya (this hits me too haha).

Saya masih harus belajar banget tentang menjaga kualitas relasi ini. Apalagi dengan orang dari "kelompok" berbeda, misalnya umur yang lebih tua, pekerjaan atau status sosial yang berbeda. Selama ini saya merasa kesulitan memposisikan diri ketika mengobrol dengan orang yang jauh lebih tua, dan saya lebih memilih menghindar. Tapi mungkin saya memang kurang latihan saja, mencoba duduk bersama dan mencari tahu posisi tersebut.

Pernah juga, suatu sore, saya dan teman saya, Ocha, lagi makan kebab. Tiba-tiba kami masuk ke topik pernikahan karena membahas ada teman yang baru saja menikah. Saya jadi nyeletuk, "Kalo cewe tuh ikhtiar-nya gimana ya? Kan nggak mungkin juga nyamperin cowonya duluan ya? Tapi kalau nggak ngapa-ngapain berarti nggak ikhtiar dong?". Ocha dengan santai menjawab, "Enggak harus gitu juga Mei. Bisa juga misalnya dengan menjaga silaturahmi. Kita kan nggak tau datangnya jodoh kita dari mana." Diriku hanya bisa bilang "hooo.." sambil mengingat-ingat lagi bagaimana kualitas silaturahmi saya dengan orang-orang. Kayanya belum berjalan dengan baik deh hehehe


Meredam emosi

Di awal tahun ada kejadian yang membuat saya sakit hati (note: bukan soal cinta). Entah apa yang mungkin terjadi kalau saya tidak meredam emosi saat itu. Saya pilih diam. Memaafkan mungkin mudah. Melupakan itu sulit. Hubungan saya dan dia kembali baik. Hanya saja butuh waktu berbulan-bulan bagi saya untuk bisa mengingat kejadiaan saat itu tanpa harus merasakan ulang sakitnya. Dari pengalaman ini saya belajar untuk meredam emosi lewat doa.

Klise ya? Tapi siapa Yang Paling Tahu hati saya waktu itu? Bahkan saya tidak pernah tahu apa yang ada di pikiran teman saya itu ketika kami berselisih. Atau ketika setelahnya dia menunjukkan sikap yang baik pada saya, apakah dia berpura-pura atau itu upayanya menyelesaikan masalah. Ataukah itu upayanya mengobati hatinya. Tapi saya tahu siapa Sang Pemilik hati. Lalu saya memohon Ia menolong mengobati hati saya. Penyembuhan juga butuh proses. Dan selama proses ini pula saya belajar mengantisipasi agar emosi yang telah surut jangan sampai mengombak tinggi lagi.


Keberkahan waktu


Saya sangat terinspirasi dari postingan Fitri tentang mencari keberkahan waktu. Saya selalu merasa punya manajemen waktu yang buruk. Entah perencanaannya yang tidak siap, realisasinya yang berantakan, atau memang pekerjaannya yang terlalu banyak. Kadang keluarlah dalih "tidak punya waktu" sebagai alasan melalaikan tanggung jawab. Sehabis baca postingannya Fitri, saya merasa dicubit. Ya iyalah manajemen waktunya buruk, wong nggak pernah minta diberkahi oleh Sang Pemilik waktu. Waktu itu bulan Ramadhan dan sejak saat itu saya mencoba menerapkan untuk selalu memohon keberkahan waktu. Wallahu'alam. Efek yang saya rasakan yaitu bathin saya lebih tenang dan waktu saya ternyata cukup-cukup saja untuk mengerjakan tugas kuliah, tesis, dan beberapa aktivitas Ramadhan. Saya merasa aktivitas nirfaedah seperti buka sosial media langsung menurun drastis, karena saya "tidak punya waktu" untuk itu.

----

Semoga Allah jadikan diriku di tahun 2020 menjadi lebih baik.




Refleksi tahun-tahun sebelumnya:

2018, 2017, 2015

Comments

Popular Posts