Cerita Pendek: Surat-surat



Sudah beberapa hari ini, anak perempuan itu menanyakan kepadaku apakah ada surat yang datang untuknya. Aku bilang belum ada. Saat kutanya surat dari siapa yang ia tunggu, ia tidak mau menjawabnya.

Memang aku adalah resepsionis asrama ini. Jika ada surat yang datang untuk siswa di sini, akulah yang menerimanya terlebih dahulu.

Hari ini anak itu terlihat lesu mendengar jawabanku. Mungkin ia lelah menunggu. Atau ada hal lain yang menggangggunya. Aku tanya, apakah kau tidak apa-apa. Dia hanya menggeleng dan kembali ke ruang belajar.

Beberapa hari kemudian, akhirnya ada surat untuknya. Sepertinya ia senang sekali dan terlihat lebih bersemangat dari biasanya. 

Selama beberapa minggu kemudian, ia bolak-balik mengirimkan dan menerima surat. Ia juga masih senang. Tapi lama-lama ia terlihat bingung.

Pernah ia bertanya, "Sampai kapan ya aku harus menunggu?"

Aku bertanya kembali, "Bukankah selama ini kau sudah mendapatkan surat yang kau nanti?"

"Bukan, bukan surat-surat itu," dengan sedikit ragu dia menambahkan, "Aku juga mengira ini surat yang kutunggu, tapi bukan. Sepertinya salah alamat."

Aku heran, mengapa dia sendiri tidak tahu apa yang ia tunggu.

Anak itu kembali ke ruang belajar melanjutkan apa yang dia kerjakan. Dia selalu duduk di kursi yang sama. Selalu terlihat nyaman. Apakah pekerjaannya yang ia pikirkan saat ini? Atau surat yang ia tunggu-tunggu itu? Aku tidak tahu. Aku hanyalah pengamatnya dari jauh.

Beberapa hari kemudian, ia menyapaku dan berkata, "Aku sudah mengirimkan suratku yang terakhir. Aku tidak akan lagi menanyakanmu apakah ada surat untukku"

Hampir saja aku terlupa, ada surat untuknya. Kuberikan kepadanya. Dia membacanya dalam diam. Dia sedikit kaget, terlihat dari air wajahnya, tapi tetap diam.

"Itukah yang kau tunggu?" tanyaku.

"Bukan, waktunya tidak tepat. Ini adalah surat yang terlambat."

Aku sedikit sedih mendengarnya. "Apakah kau kecewa?" tanyaku.

"Tidak juga. Apa yang akan menjadi milikku, akan menjadi milikku. Apa yang terlewat dariku, memang tidak akan menjadi milikku."

Aku berpikir sejenak. Lalu kuberanikan bertanya, "Apa kau masih berharap kau akan mendapatkan balasan untuk suratmu yang terakhir?"

"Ya. Aku yakin surat itu akan datang pada waktunya. Selama ini aku salah memaknai penungguanku."

"Lalu, kau bilang itu surat yang terakhir? Apa artinya kau menyerah? Bukankah kau bisa mengirimkan surat berkali-kali yang agar dia membalas suratmu?"

"Itu adalah surat terakhir kepada yang bukan seharusnya menerima suratku. Aku tidak menyerah. Surat-suratku tetap akan aku kirim. Ke penerima yang berbeda. Yang aku yakin akan menerima suratku dan membalasanya, pada waktunya. Aku tidak tahu kapan. Aku akan menunggunya. Sambil terus mengirimkan surat kepadanya. Sambil aku tetap melakukan aktivitasku yang seharusnya. Agar penungguanku tidak sia-sia." Ia berpikir sebentar, lalu menambahkan, "Berharap kepada-Nya tidak pernah sia-sia."


Comments

Post a Comment

Popular Posts